Halaman

Senin, 15 September 2008

Tulisanku Terbaru pada tabloid SR




Dimuat pada tabloid Suara Rakyat Edisi 50 Agustus 2008
Opo wis Merdeka Tenan.......?

Minggu, 17 Agustus 2008 lalu adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa ini. Karena pada tanggal dan bulan itu 63 tahun silam, negeri ini dinyatakan merdeka dari penjajahan bangsa asing setelah dwitunggal Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Itulah momen terbesar bagi titik awal perjalanan RI hingga sekarang. Kita tahu, para bapak pendiri negeri ini berjuang dengan segenap jiwa dan raganya untuk mewujudkan kemerdekaan negeri ini.
Sejak awal, founding fathers juga telah bersepakat tentang ke mana arah dan tujuan Negara Indonesia ini dibawa. Seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 45, yaitu ”…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakanketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Sekarang bila kita tarik pada judul yang ditulis penulis “Opo wis Merdeka Tenan” kita harus meninjau dari dua sudut pandang.
Sudut pandang pertama, setelah 63 tahun merdeka, apakah tujuan kemerdekaan itu sudah tercapai? Sudahkan bangsa ini benar-benar telah merdeka? Jika yang dimaksud adalah merdeka dari realitas penjajahan bangsa asing seperti ketika Indonesia diduduki oleh Belanda atau Jepang, jawabannya tentu, ”Ya… kita sudah merdeka.”
Akan tetapi bila dari Sudut pandang kedua yakni jika yang dimaksud kemerdekaan bangsa adalah tindak lanjut dari Proklamasi seperti yang dikonsep para pahlawan kemerdekaan kita.”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” maka kita sesungguhnya belum sepenuhnya merdeka.
Di usia yang Ke-63 tahun Kemerdekaan RI ini masih begitu banyak rakyat yang belum terlindungi hak-hak sosial maupun hak-hak politiknya. Masih begitu banyak rakyat negeri ini yang belum sejahtera dan cerdas. Kebodohan, kemiskinan dan pengangguran sebagai salah satu tolok ukur kemerdekaan bangsa ternyata masih menjadi masalah utama bangsa kita.
Sekalipun demikian, kita patut bersyukur bahwa dalam perjalanan bangsa ini telah begitu banyak perubahan yang terus dilakukan. Setidaknya, semenjak reformasi bergulir 10 tahun silam, arah dan gerak demokrasi pemerintahan kita sudah jauh lebih baik. Kebebasan mengemukakan pendapat, kemerdekaan berkumpul dan terbebasnya rakyat dari rasa takut dari penguasa, sekarang ini telah nyata tercipta.
Yang diperlukan kini tinggal kesungguhan para pemimpin dan calon pemimpin kita untuk benar-benar kembali ke arah tujuan dibentuknya Negara Indonesia oleh para pendiri bangsa ini. Semoga pada Pemilu 2009 mendatang kita mendapatkan pemimpin yang cerdas, benar-benar mau dan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Bangkitlah Bangsaku, Dirgahayu Indonesia-ku. (Penulis Wiwin Daniaty, Mahasiswa UPN Jogyakarta)

Tulisanku yang dimuat Tabloid

Dimuat pada Tabloid Suara Rakyat Edisi 48 - JUNI 2008
Dunia Pendidikan Ladang Bisnis di Blora ???

Jelang tahun ajaran baru, seperti biasa para orang tua sibuk mencarikan sekolah yang terbaik bagi pendidikan anaknya.
Setelah diterima di sekolah yang ditujunya, dipastikan orang tua anak selalu memenuhi apa yang diwajibkan dan dibebankan pada anaknya. Termasuk juga kewajiban pembelian buku pelajaran, yang kadang dibisniskan oleh oknum guru disekolah itu.
Hal inilah yang memacu munculnya persoalan praktik bisnis di dunia pendidikan, khususnya pengadaan buku pendamping bagi siswa yaitu lembar kerja siswa (LKS).
Jauh sebelum persoalan ini bergulir, keluhan orangtua siswa tentang ”kewajiban” membeli LKS bagi anaknya sudah muncul. Buku yang semula hanya pendukung dan tidak wajib dibeli, kemudian berganti label menjadi wajib dibeli.
Bisa melalui pemotongan langsung melalui tabungan siswa hingga mengondisikan siswa mau tidak mau harus membeli LKS untuk mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM). Modusnya bisa dengan menggunakan LKS sebagai acuan ulangan maupun pekerjaan rumah (PR).
Harga LKS mungkin relatif tidak mahal, hanya berkisar Rp 4.000-Rp 5.000 per LKS per mata pelajaran.
Relatif dalam hal ini tergantung dari kacamata mana kita melihat, orangtua siswa dari kalangan menengah ke atas atau orangtua siswa yang warga miskin. Jangan menutup mata bahwa jumlah siswa miskin di Blora saat ini mencapai angka ratusan bahkan ribuan anak.
Pemimpin daerah melalui kepala dinas Diknas hendaknya segera merencanakan realisasi beasiswa pelayanan pendidikan (BPP). Artinya, banyak orangtua siswa di luar sana yang berada pada posisi sulit dan terpaksa membeli buku pendamping ini.
Seharusnya jauh-jauh hari, Masyarakat yang Peduli Pendidikan di Blora segeralah menangkap persoalan ini dengan merumuskan pengaturan penggunaan LKS ini dalam Raperda Pendidikan.
Ironisnya, tak terbantahkan lagi, dari situasi sulit yang dihadapi orangtua siswa, dimungkinkan oknum guru hingga pejabat Dinas menuai untung.
Oknum Guru dalam hal ini mendapatkan untung dengan menjadi penyusun materi dan praktik pengondisian siswa menggunakan LKS tertentu.
Sementara keuntungan yang dituai pejabat bahkan jauh lebih besar. Apalagi dengan kewenangannya untuk ”mengarahkan” sekolah-sekolah agar menggunakan LKS produksi mereka.
Banyak guru menyuarakan bahwa LKS penting bagi penunjang KBM. Namun persoalannya di sini bukan penting atau tidaknya LKS.
Kami sepakat latihan soal akan mendukung prestasi siswa. Tetapi kami tidak sepakat bila kemudian oknum guru dan pejabat bisa seenaknya meraup untung dengan menjadikan orangtua dan siswa sebagai obyek penderita. Itu logika jawaban bila para orang tua ketika dimintai tanggapannya terkait ini.
Mempersoalkan apakah orang berbisnis LKS itu salah, memang hal itu tidak salah. Namun menjadi salah saat ada upaya ”pemaksaan” dengan merugikan pihak tertentu sebagai korban.
Ingat, penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi masuk dalam unsur korupsi.
Sayangnya, jika persoalan ini sudah menjadi borok karena sudah berlangsung sekian lama.
Harapan penulis segeralah Bupati Blora beserta DPRD memberlakukan aturan tentang kewajiban pembelian buku pelajaran. Khususnya pada siswa yang tidak mampu, misalnya dengan memberikan buku gratis pada mereka.
Penulis sangat yakin Bupati Blora yang dikenal sebagai seorang yang rendah hati dan peduli rakyatnya, pasti memikirkan dan akan berpihak pada kebutuhan warganya.
Sehingga kalimat yang dimunculkan leluhur Blora yakni “Bathok Bolu Isi Madu” yang sekarang ini terbukti dengan segera beroperasinya Blok Cepu, betul-betul untuk kesejahteraan rakyat Blora. (Penulis: Wiwin Daniaty Mahasiswa UPN Jogyakarta)