Halaman

Senin, 15 September 2008

Tulisanku yang dimuat Tabloid

Dimuat pada Tabloid Suara Rakyat Edisi 48 - JUNI 2008
Dunia Pendidikan Ladang Bisnis di Blora ???

Jelang tahun ajaran baru, seperti biasa para orang tua sibuk mencarikan sekolah yang terbaik bagi pendidikan anaknya.
Setelah diterima di sekolah yang ditujunya, dipastikan orang tua anak selalu memenuhi apa yang diwajibkan dan dibebankan pada anaknya. Termasuk juga kewajiban pembelian buku pelajaran, yang kadang dibisniskan oleh oknum guru disekolah itu.
Hal inilah yang memacu munculnya persoalan praktik bisnis di dunia pendidikan, khususnya pengadaan buku pendamping bagi siswa yaitu lembar kerja siswa (LKS).
Jauh sebelum persoalan ini bergulir, keluhan orangtua siswa tentang ”kewajiban” membeli LKS bagi anaknya sudah muncul. Buku yang semula hanya pendukung dan tidak wajib dibeli, kemudian berganti label menjadi wajib dibeli.
Bisa melalui pemotongan langsung melalui tabungan siswa hingga mengondisikan siswa mau tidak mau harus membeli LKS untuk mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM). Modusnya bisa dengan menggunakan LKS sebagai acuan ulangan maupun pekerjaan rumah (PR).
Harga LKS mungkin relatif tidak mahal, hanya berkisar Rp 4.000-Rp 5.000 per LKS per mata pelajaran.
Relatif dalam hal ini tergantung dari kacamata mana kita melihat, orangtua siswa dari kalangan menengah ke atas atau orangtua siswa yang warga miskin. Jangan menutup mata bahwa jumlah siswa miskin di Blora saat ini mencapai angka ratusan bahkan ribuan anak.
Pemimpin daerah melalui kepala dinas Diknas hendaknya segera merencanakan realisasi beasiswa pelayanan pendidikan (BPP). Artinya, banyak orangtua siswa di luar sana yang berada pada posisi sulit dan terpaksa membeli buku pendamping ini.
Seharusnya jauh-jauh hari, Masyarakat yang Peduli Pendidikan di Blora segeralah menangkap persoalan ini dengan merumuskan pengaturan penggunaan LKS ini dalam Raperda Pendidikan.
Ironisnya, tak terbantahkan lagi, dari situasi sulit yang dihadapi orangtua siswa, dimungkinkan oknum guru hingga pejabat Dinas menuai untung.
Oknum Guru dalam hal ini mendapatkan untung dengan menjadi penyusun materi dan praktik pengondisian siswa menggunakan LKS tertentu.
Sementara keuntungan yang dituai pejabat bahkan jauh lebih besar. Apalagi dengan kewenangannya untuk ”mengarahkan” sekolah-sekolah agar menggunakan LKS produksi mereka.
Banyak guru menyuarakan bahwa LKS penting bagi penunjang KBM. Namun persoalannya di sini bukan penting atau tidaknya LKS.
Kami sepakat latihan soal akan mendukung prestasi siswa. Tetapi kami tidak sepakat bila kemudian oknum guru dan pejabat bisa seenaknya meraup untung dengan menjadikan orangtua dan siswa sebagai obyek penderita. Itu logika jawaban bila para orang tua ketika dimintai tanggapannya terkait ini.
Mempersoalkan apakah orang berbisnis LKS itu salah, memang hal itu tidak salah. Namun menjadi salah saat ada upaya ”pemaksaan” dengan merugikan pihak tertentu sebagai korban.
Ingat, penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi masuk dalam unsur korupsi.
Sayangnya, jika persoalan ini sudah menjadi borok karena sudah berlangsung sekian lama.
Harapan penulis segeralah Bupati Blora beserta DPRD memberlakukan aturan tentang kewajiban pembelian buku pelajaran. Khususnya pada siswa yang tidak mampu, misalnya dengan memberikan buku gratis pada mereka.
Penulis sangat yakin Bupati Blora yang dikenal sebagai seorang yang rendah hati dan peduli rakyatnya, pasti memikirkan dan akan berpihak pada kebutuhan warganya.
Sehingga kalimat yang dimunculkan leluhur Blora yakni “Bathok Bolu Isi Madu” yang sekarang ini terbukti dengan segera beroperasinya Blok Cepu, betul-betul untuk kesejahteraan rakyat Blora. (Penulis: Wiwin Daniaty Mahasiswa UPN Jogyakarta)

1 komentar:

Agung Family mengatakan...

kamu asli desa apa pura-pura Ndeso mbak ? ntar Katrok tenan lho