Halaman

Kamis, 28 Januari 2010

Opini dari tabloid Suara Rakyat

Pemimpin Bertengkar, Rakyat Telantar 

Mas GIK yang seorang pegusaa tempe tiba kembali di Blora setelah liburan di kampung. Tapi, wajahnya tak memperlihatkan kecerahan, layaknya orang habis liburan. 
”Sampeyan kenapa sih, Mas?” tanya saya suatu pagi.
 
”Saya sedih campur bingung. Di kampung malah disambati macem-macem. Ada yang mengeluh karena usaha pembuatan tempe macet karena hara kedeai naik. Akibatnya banyak warga menganggur. Banyak saudara menyodorkan anaknya untuk dibantu mencari pekerjaan,” kata Mas Gik.
 Jeng Vivi yang datang belakangan ikut nimbrung. ”Saudara-saudara saya juga cemas, was-was, deg-deg plas. Jangan-jangan usaha kerajinan mereka, bikin keset dan boneka akan tergusur setelah perdagangan bebas ASEAN-China diberlakukan,” kata Vivi.
 Soal kedelai impor, memang belakangan lebih banyak mengalahkan kedelai lokal. Sementara ketakutan terhadap produk China pantas dimengerti.
Saat melihat-lihat ke sejumlah pusat perbelanjaan di Semarang dan sekitarnya, beberapa hari terakhir ini, saya melihat produk mainan anak buatan China menguasai pasar, nyaris sendirian alias tanpa pesaing.
 
Selain bentuknya bagus-bagus, harganya juga terjangkau. Misalnya ada yang dijual paket Rp 14.000 untuk tiga mainan, di antaranya terdapat handphone (HP) mainan.
Soal keamanan, saya sendiri kok sangsi, soalnya cerita dan berita tentang produk mainan anak dari China beberapa kali menghiasi media.
 
”Lha terus solusinya apa? Soalnya ini erat hubungannya dengan urusan perut. Pasti mereka yang mengeluh itu juga sangat gelisah, nggak tahu lagi mau kerja apa,” kata saya.
 ”Ya saya belum punya solusi. Kebanyakan dari mereka lulusan SMA yang belum siap kerja. Saya ajak berpikir tentang wiraswasta malas. Menjadi pekerja informal malu. Sebelnya, kebanyakan dari mereka kemana-mana sudah bawa HP,” jelas Mas Gik.
 Sebenarnya wiraswasta atau enterpreneur seperti yang dikatakan Mas Gik itu, salah satu solusi yang menarik dan jika dikembangkan berpotensi mengurangi pengangguran secara signifikan.
 Selebihnya, tenaga kerja kita sebagian mulai membidik pekerjaan di luar negeri, bertarung menjadi PKL di kota, melamar kerja swasta atau bermimpi menjadi PNS..
”Tapi sepertinya kita yang muda-muda ini yang harus turun tangan mengurai kegelisahan saudara-saudara kita itu,” Jeng Vivi mulai antusias. 
Berebut kebenaran
 Kata Jeng Vivi lagi, kalau menunggu pemerintah bergerak taktis dan tepat sasaran, rasanya belum tentu. ”Lihat saja, para pemimpin, para elite saban hari bertengkar meributkan Bank Century.
Petinggi polisi saling ribut soal kode etik, para koruptor berpesta di penjara, akhirnya rakyat telantar, sendirian tanpa pegangan mengurus hidup yang kian sulit. Sebagian rakyat berebut kebenarannya sendiri-sendiri di jalanan.
 Saya dan Mas Gik mau tak mau ikut terbawa jago debat kita yang satu ini. Sayang, kemarin dia gagal lolos tes CPNS.
”Kan sama-sama berebut kebenaran to, Nes,”kata saya.
 
”Begitu juga dengan di Blora yang di Gedung DPRD itu mereka juga ribut karena hak angket tentang Pengawasan DPU, karena masing-masing merasa benar. Demikian juga dengan APBD-nya, para Anggoa dewan menuduh eksekutif (TAPD) terbawa arus Musda”
 Mas Gik menambahkan, karena penegakan hukum yang lemah, diskriminatif dan inkonsisten, di masyarakat berlaku rumus asu gedhe menang kerahe. Nah, kalau yang di Gedung DPRD Blora itu mungkin bisa berlaku rumus dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Pemimpin bertengkar, rakyat telantar,”ujar Mas Gik.(Penulis Dr.Agung Budi Rustanto-Redaktur tabloid Suara Rakyat)


Tidak ada komentar: